Setelah harga kedelai meroket, kini giliran daging sapi yang melonjak. Kenaikan harga daging sapi tersebut menuai protes dari para pedagang yang diekspresikan dalam bentuk aksi mogok berdagang daging sapi. Pedagang menyatakan bahwa harga daging sapi yang melambung tinggi, sementara permintaan pasar yang sedang lesu menyebabkan keuntungan yang mereka peroleh semakin menipis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketergantungan Indonesia terhadap daging sapi impor sangat tinggi yang ditunjukkan dengan impor daging sapi di atas 200 ribu ton per tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2021 ini saja pemerintah telah berencana untuk melakukan impor daging sapi sebesar 298 ribu ton (https://www.kompas.tv/article/140034/ri-akan-impor-daging-sapi-298-000-ton-di-2021?page=all). Mengingat jumlah impor yang sangat tinggi tersebut tidaklah mengherankan jika guncangan yang terjadi di negara-negara produsen sapi dunia pasti akan berpengaruh terhadap harga daging sapi di Indonesia.
Penulis mencatat, setidaknya terdapat empat faktor utama penyebab kenaikan harga daging sapi di Indonesia, yaitu pandemi Covid-19, kondisi cuaca, perubahan nilai tukar (exchange rate), dan terbatasnya produksi dalam negeri.
Seperti yang kita ketahui pandemi Covid-19 telah menyebabkan guncangan yang luar biasa terhadap supply (penawaran) dan demand (permintaan) di semua sektor termasuk pangan. Dari sisi supply, pandemi Covid-19 dan kondisi cuaca menyebabkan terganggunya produksi, pengolahan dan distribusi d komoditas sapi terutama di negara-negara produsen sapi dunia.
Sebagai contoh di Australia, produksi daging sapi mengalami penurunan karena kekeringan panjang tahun 2019 sehingga memicu kenaikan harga daging sapi. Tahun 2020 peternak-peternak di Australia melakukan restocking sehingga mereka mengurang penjualan sapi.
Di Amerika Serikat misalnya, restriksi karena wabah Covid-19 juga berdampak pada produksi dan pengolahan dan tempat-tempat pemotongan. Sapi-sapi hidup banyak mengalami penumpukan di tempat pemotongan karena karena rumah pemotongan kekurangan tenaga kerja akibat dampak covid 19.
Dari sisi permintaan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan permintaan terhadap live cattle (sapi hidup) dari negara lain seperti di Vietnam dan China. Di China sendiri wabah covid 19 menyebabkan turunnya produksi daging babi sehingga mereka beralih kedaging sapi dan meningkatkan permintaan China terhadap daging sapi. Kenaikan permintaan terhadap sapi hidup tersebut menyebabkan importir Indonesia harus bersaing untuk mendapatkan daging sapi di pasar dunia termasuk daging sapi dari Australia dan negara-negara produsen sapi lainnya.
Tekanan permintaan dari dalam negeri juga berpengaruh terhadap daya beli konsumen terhadap daging sapi. Wabah Covid-19 telah menyebabkan penurunan pendapatan konsumen sehingga menyebabkan turunnya daya beli konsumen terhadap daging sapi. Kondisi ini semakin memburuk ketika banyak usaha restoran, rumah makan, catering dan gerai-gerai makanan yang tutup sehingga semakin menyebabkan lesunya permintaan terhadap daging sapi.
Di tengah lesunya permintaan dalam negeri tersebut, menjadi suatu hal yang mustahil bagi pedagang untuk meningkatkan harga jual. Hal ini memicu para pedagang untuk melakukan aksi mogok.
Fluktuasi nilai tukar di negara produsen sapi juga akan berpengaruh terhadap harga daging sapi di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa impor sapi Indonesia dari Australia sangat besar, sehingga penguatan nilai Dollar Australia terhadap Rupiah yang terjadi akhir-akhir ini berpengaruh terhadap kenaikan harga daging sapi di Indonesia.
Rendahnya produksi daging sapi dalam negeri telah menyebabkan Indonesia menggantungkan diri pada daging sapi impor dan ketergantungan ini sudah terjadi sejak lama. Tingginya biaya dan kompleknya persoalan yang terjadi di sepanjang rantai pasok daging sapi di Indonesia menyebabkan produksi daging sapi di Indonesia seolah jalan di tempat.
Di hulu, misalnya skala usaha peternakan sapi di Indonesia yang didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan hanya 1-3 ekor sapi juga berkontribusi terhadap tingginya biaya produksi. Keterbatasan bibit sapi unggul, mahalnya biaya pakan dan keterbatasan lahan yang tersedia untuk padang angonan menyebabkan rendahnya produktivitas daging sapi yang diusahakan oleh peternak.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pedagang ketika mendistribusikan sapi dari daerah produsen ke daerah konsumen juga berkontribusi terhadap tingginya biaya transaksi di sektor ini. Seperti yang kita ketahui bahwa daerah sentra sapi di Indonesia cenderung terpencar-pencar dan jauh dari konsumen.
Kombinasi ke-empat factor diatas menyebabkan kenaikan harga daging sapi di Indonesia dan trend kenaikan harga tersebut semakin terasa di akhir tahun 2020 dan berlangsung hingga sekarang.
Hasil analisis dengan menggunakan additive outlier model yang dilakukan oleh penulis terhadap data harian harga daging sapi 1 Oktober 2020-20 Januari 2021 yang diperoleh dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional menunjukkan bahwa telah terjadi structural break yaitu perubahan harga yang terjadi secara tiba-tiba pada komoditas daging sapi sejak 23 Desember 2020.
Berdasarkan gambar berikut terlihat bahwa setelah tanggal 23 Desember 2020, harga daging sapi secara tiba-tiba menunjukkan tren yang meningkat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh para pedagang daging sapi, bahwa harga daging sapi sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan harga daging sapi pada masa lebaran 2020.
Apa yang harus dilakukan untuk menjaga agar kenaikan harga daging sapi tidak terjadi secara berulang? Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ketergantungan Indonesia terhadap daging sapi impor sangat tinggi. Sehingga dalam jangka panjang diperlukan upaya peningkatan peningkatan produksi daging sapi dalam negeri.
Memang untuk memenuhi kebutuhan sapi 100% dari dalam negeri sangat sulit, tetapi setidaknya melalui upaya peningkatan produksi tersebut maka ketergantungan Indonesia terhadap sapi impor bisa dikurangi.
Seperti yang kita ketahui produksi sapi di dalam negeri didominasi oleh peternak skala kecil. Padahal untuk peternakan sapi agar efisien diperlukan bisnis skala besar. Maka salah satu upaya dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah terkait peningkatan produksi daging sapi adalah dengan meningkatkan skala usaha.
Namun yang perlu ditekankan disini bahwa bisnis sapi skala besar yang dikembangkan di Indonesia bukan berarti memindahkan bisnisnya dari peternak ke konglomerat. Namun skala pengelolaan bisnisnya yang diperbesar dengan merobah dari pemeliharaan ternak secara individu menjadi kelompok besar dengan menggunakan format koperasi berbarengan dengan food estate. Melalui peningkatan skala usaha tersebut maka para peternak yang terlibat dapat meningkatkan posisi tawarnya dalam pembelian input terutama pakan dan juga meningkatkan psosisi tawar peternak dalam memasarkan ternaknya.
Dari sisi impor, kuota impor daging sapi hendaknya diberikan kepada para importir yang bisa melakukan impor dengan biaya yang paling efisien. Kuota impor hendaknya tidak diberikan kepada importir yang memiliki kedekatan dengan pihak-pihak tertentu. Usulan untuk menunjuk Bulog sebagai importir daging tunggal bisa dijadikan suatu alternatif pilihan.
Terakhir, kenaikan harga daging sapi ini bisa dijadikan momentum untuk mendiversifikasi sumber protein hewani selain sapi. Mencapai swasembada sapi tentu saja sangat sulit, tetapi swasembada protein sangatlah dimungkinkan. Beragam sumber protein hewani yang tersedia di dalam negeri dapat dijadikan alternatif seperti daging kambing, domba, kerbau, ayam, telur ayam dan ikan.
Upaya-upaya peningkatan produksi dalam negeri, pengaturan dan pengawasan impor serta diversivikasi protein hewani tersebut tentu saja tidak mudah. Tetapi dengan upaya yang terus menerus dan konsisten, ketergantungan impor Indonesia terhadap daging sapi luar negeri akan dapat dikurangi sehingga dapat meredam gejolak harga sapi di dalam negeri.
Penulis adalah Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB dan Peneliti Senior Institute for Food and Agriculture Development Studies (IFADS)