Sebagai satu-satunya negara kepulauan sangat besar di dunia, pembangunan ekonomi Indonesia diwarnai oleh tingkat ketimpangan antar wilayah yang sangat buruk. Sampai saat ini bahkan dapat dikatakan Indonesia adalah negara dengan disparitas regional tertinggi di dunia. Ini setidaknya diindikasikan oleh nilai koefisien variasi pendapatan per kapita yang jauh di atas negara sedang berkembang lainnya. Secara teori, pada negara kelas pendapatan menengah hal ini adalah suatu kelaziman, namun kualitas pembangunan tentunya juga harus diukur dari capaian tingkat inklusifitas termasuk kemajuan ekonomi antar daerah.
Salah satu daerah dengan jumlah pulau terbanyak di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur. Wilayah paling Selatan Indonesia ini memiliki keindahan luar biasa, sebagian sudah menjadi destinasi pariwisata internasional seperti Labuan Bajo, Sumba Timur, Kelimutu dll. Dari sisi kemajuan ekonomi sayangnya NTT dapat dikatakan sebagai salah satu wilayah yang paling tertinggal di Indonesia. Jika dibandingkan dengan kondisi 50 tahun silam, kesenjangan pembangunan NTT dibandingkan daerah paling maju seperti Pulau Jawa meningkat lebih dari dua kalinya. Ini mengindikasikan terjadinya divergensi pembangunan ekonomi: rich becoming richer, and poor becoming poorer.
NTT selain memiliki kekayaan alam yang luar biasa, juga warisan budaya yang kaya dan masih terjaga, serta yang tidak banyak diketahui khalayak, di beberapa daerah seperti Ende dan sekitarnya heterogenitas ummat beragama yang tinggi. Muslim mendominasi karena adanya pendatang dari Jawa yang mengisi beberapa kantong di kepulauan NTT. Partisipasi kasar pendidikan yang jauh tertinggal dari propinsi lainnya, serta infrastruktur yang belum sepenuhnya terbangun dengan baik bermuara pada indeks pembangunan manusia yang jauh lebih rendah dari rata-rata nasional. Untungnya pada beberapa tahun terakhir komitmen Pemerintah Pusat untuk membangun banyak sumber pengairan baru sangat membantu hidupnya lahan pertanain di beberapa wilayah di NTT.
Sumberdaya manusia dan infrastruktur yang keduanya adalah mesin penggerak pembangunan dari sisi suplai merupakan dua akar persoalan lambatnya perkembangan NTT. Tidak mudah memecahkan kerumitan tersebut tentunya. Kata kunci untuk mengurai benang kusut tersebut adalah sinergi atau kolaborasi. Tidak perlu saling mengandalkan, tapi setiap pihak dari unsur pentaheliks seharusnya daapat berkontirbusi. Pemerintah dengan sumber dana bagi hasil dari daerah lain dapat menggencarkan berbagai program untuk pengembangan ekonomi produktif. Swasta dapat berperan mengoptimalkan potensi ekonomi dari sumberdaya alam yang tersedia dengan pasar sasaran luar karena masih terbatasnya ukuran pasar lokal. Penggerak pembangunan seperti Perguruan Tinggi dan masyarakat sipil harus bersedia menjadi pendamping di lapang dengan segala keterbatasan yang ada. Sebagai sentral proses pembangunan, masyarakat terkhusus kaum muda dan anak-anak harus selalu diberikan motivasi dan kail untuk mengembangkan potensi diri untuk selalu maju dan berkembang. Media tidak kalah pentingnya untuk transfer informasi dan ilmu pengetahuan.
Beberapa program dalam kurun waktu belakangan sudah dilakukan di NTT dengan sinergi berbagai pemangku kepentingan. Model closed loop untuk pengembangan agribisnis hortikultura sudah dikembangkan dengan pemeran utama adalah beberapa petani milenial yang berhasil membudidayakan cabai di lahan kering dengan panen yang bahkan lebih baik daripada sentra utama di Pulau Jawa. Pendampingan yang dillakukan oleh berbagai pihak kepada pemuda yang bermotivasi tinggi untuk sukses di bidang hortikultura membuahkan hasil setelah proses dilakukan secara tekun selama lebih dari setahun. Dengan dukungan dari berbagai pihak teknologi pertanian presisi dengan fertigasi di lahan terbuka yang masih terbilang langka di Indonesia berhasil diterapkan. Hasil yang diperoleh pun tidak hanya disuplai ke pasar lokal, tapi juga ke luar pulau yang sebelumnya masih didatangkan dari Sulawesi atau Jawa Timur.
Beberapa praktek terbaik model kolaborasi lain masih dapat dijumpai saat ini di beberapa daerah di NTT. Di Sumba Barat Daya misalnya, dengan infrastruktur yang sangat minimum secara sukarelawan beberapa perempuan mendampingi petani yang awalnya bertanam jagung dengan hasil tidak sampai 2 ton per hektar, akhirnya bisa memanen lebih dari dua kalinya dengan kondisi lahan kering di atas bukit dan akses yang sangat sulit dijangkau. Ketekunan seperti inilah yang diharapkan dari semua kalangan, terutama pengambil kebijakan di pusat sehingga suatu program dapat berkelanjutan.
Di Kabupaten Nagekeo, beberapa pemuda melakukan terobosan budidaya padi yang lebih ramah lingkungan. Benih padi yang didatangkan dari Banyuwangi ditanam dengan teknologi yang presisi ternyata mampu memberikan hasil panen yang sangat memuaskan. Bahkan, dengan rasa yang pulen beras yang dihasilkan mirip dengan beras impor yang biasanya mengisi restoran Jepang di dalam negeri. Faktor iklim di NTT yang khas sepertinya membuat ini terjadi. Cerita sukses yang diperoleh bukanlah hasil instan. Berangkat dari luasan terbatas, budidaya terus meningkat sehingga mencapai luasan yang sudah memenuhi konsolidasi lahan dalam korporasi petani. Lembaga internasional pun secara sukarela menjadi tertarik untuk mendukung sebagian besar pembiayaan dari usahatani tersebut.
Potensi sumberdaya alam di NTT sangat besar, bukan sebaliknya. Untuk dikelola dengan baik, memerlukan dukungan langsung dari berbagai pihak. Semisal IPB saat ini sedang menggalakkan beberapa program untuk membuktikan bahwa NTT seharusnya juga dapat menjadi lumbung pangan dan peternakan nasional. Kondisi defisit neraca pangan dan hortikultura seharusnya tidak terjadi. Di bidang peternakan, program unggulan seperti Sekolah Peternakan Rakyat sudah dimulai untuk menjadikan NTT sebagai mini Australia, yang selama ini menjadi sumber utama impor daging sapi Indonesia. Pembuatan alternatif pakan ruminansia dari non jagung sedang diupayakan sebagai akar masalah tidak berdaya saingnya ternak Indonesia dengan luar. Sudah harus diwujudkan bahwa destinasi wisata di NTT yang sudah dan akan dipenuhi oleh hotel berskala internasional, bakan termahal di dunia seharusnya dipasok dengan produksi setempat yang berujung pada kesejahteraan masyarakat lokal. Inilah hakikat dari pembangunan.
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University dan Ketua Dewan Pakar HA IPB