Untuk menjadi Bank Sentral yang relevan di masa depan diperlukan pembelajaran terhadap sejarah Bank Sentral beserta strategi kebijakan makroekonominya sebagai bekal untuk menghadapi tantangan ke depan yang semakin komplek dan penuh ketidakpastian. Lingkungan strategis berubah sangat cepat, hyperconnected dan tantangan bersifat turbulence, uncertainty, novelty and ambiguity (TUNA) membutuhkan strategi kebijakan yang terintegrasi melalui koordinasi yang kuat.
Pengalaman krisis memberikan pelajaran bahwa Bank Sentral perlu memperkuat konstruksi kelembagaan dan strategi kebijakan melalui penguatan kelembagaan yang inklusif untuk menjaga kredibilitas kebijakan. Sedangkan di era transformasi digital diperlukan penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru melalui pemberdayaan ekonomi berbasis inovasi untuk mendorong sustainability ekonomi dengan strategi mengatur inovasi.
Bauran kebijakan Bank Sentral yang terdiri dari kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran perlu diimplementasikan secara sinergis bersama kebijakan fiskal dan kebijakan reformasi struktural dalam rangka menjaga stabilitas dan mendorong momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah masih berlangsungnya pandemi Covid-19 ditingkat global dan domestik.
Sejarah membuktikan bahwa strategi kebijakan makroekonomi setiap periode mengarah kepada bauran kebijakan untuk meredam terjadinya krisis multidimensi yang bersumber dari tekanan domestik dan global. Sebagai contoh pada periode tahun 1960-1980 merupakan tahap stabilisasi pasca perang dunia dan terjadinya liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan makroekonomi pada periode tersebut fokus pada quantity based approach dengan memberikan diskresi terhadap respon kebijakan dalam rangka menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Namun berselang 10 tahun kemudian, pada periode 1990-2008 terjadi krisis keuangan Asia, “great moderation” dan global financial crises (GFC). Kebijakan makroekonomi yang di tempuh meliputi price based approach, pemberian diskresi terbatas terhadap respon kebijakan dan implementasi Inflation Targeting Framework (ITF). Tujuan kebijakan tersebut adalah menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dan penguatan governance untuk membangun kebijakan yang kredibel untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pada periode 2009-2019 merupakan era pasca pemulihan GFC dan adanya perubahan landscape global melalui pemanfaatan teknologi untuk memacu pertumbuhan sehingga dibutuhkan strategi kebijakan macro-financial linkages dengan pendekatan terintegrasi, ITF yang fleksibel, bauran Kebijakan, komunikasi dan koordinasi kebijakan serta perlunya perlindungan hukum bagi pemangku kebijakan melalui Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Tujuan kebijakan tersebut adalah menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dan penguatan governance untuk membangun kredibilitas kebijakan yang dilengkapi dengan macro-risk management. Pada 2020, terjadi diminishing globalization yang dipicu oleh perang dagang US dan China serta pembatasan perdagangan antar negara, namun pada waktu bersamaan terjadi pandemi Covid-19 yang memicu akselerasi digitalisasi ekonomi sehingga dibutuhkan bauran kebijakan ekonomi dan kesehatan, bauran kebijakan 4.0 dengan didukung oleh komunikasi dan koordinasi kebijakan yang kuat serta mendorong inovasi berbasis kreativitas.
Penggunaan instrumen bauran kebijakan harus saling melengkapi dan menguatkan satu sama yang lain dalam rangka pencapaian tujuan utama kebijakan. Implementasi strategi harus mempunyai standar pengukuran, kompleknya tantangan memberikan implikasi bahwa Bank Sentral seharusnya menggunakan instrumen kebijakan yang beragam dan berupaya mengantisipasi terjadinya trade off kebijakan. Strategi kebijakan yang optimal diperlukan untuk menghadapi perekonomian global yang penuh ketidakpastian, bauran kebijakan harus mampu mencapai tujuan Bank Sentral secara optimal, penentuan prioritas kebijakan yang ditempuh bank sentral.
Koordinasi kebijakan dengan otoritas terkait diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang diluar kewenangan Bank Sentral (reformasi struktural). Formulasi magnitude dan timing implementasi bauran kebijakan Bank Sentral perlu didukung dengan strategi komunikasi kebijakan yang baik. Pada akhirnya, penguatan bauran kebijakan Bank Sentral dan koordinasi kebijakan nasional diharapkan dapat mengambil manfaat dari adanya transformasi ekosistem digital untuk menjadi Bank Sentral yang relevan di masa depan.
Terjadinya resesi nasional pada triwulan II-2020 sampai dengan triwulan I-2021 menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua agar senantiasa melakukan kolaborasi bauran kebijakan agar terwujud pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah telah mengambil kebijakan fiskal ekspansif salah satunya adalah perluasan biaya penanganan Covid-19 Rp695,2 triliun (4,2% thd PDB) yang dialokasikan untuk bidang kesehatan Rp87,55 triliun dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp607,65 triliun.
Namun ruang fiskal yang tersedia masih belum cukup sehingga Pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1/2020 (diubah menjadi UU No. 2/2020) yang memberikan wewenang Bank Indonesia untuk membeli SBN di pasar primer sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dalam rangka PEN. Sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal terus diperkuat dengan pembelian SBN di pasar primer. Pada tahun 2020, BI membeli SBN di pasar primer sebesar Rp473,42 triliun untuk pendanaan APBN 2020. Dilanjutkan pada 2021 BI melakukan pembelian SBN untuk pembiayaan APBN Tahun 2021 yang hingga 16 April 2021 sebesar Rp101,91 triliun (RDG 19-20 April 2021).
Untuk menjamin kecukupan likuiditas perbankan, sejak tahun 2020 Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sebesar Rp798,85 triliun (5,18% dari PDB), yang terdiri dari Rp726,57 triliun pada tahun 2020 dan sebesar Rp72,27 triliun pada tahun 2021 (hingga 16 April 2021). Hasilnya, mulai kurun waktu triwulan II-2021 sampai dengan saat ini perekonomian Indonesia mulai menunjukkan pemulihan secara bertahap. Sementara penyebaran Covid-19 berhasil dapat tertangani dengan baik yang ditunjukkan dengan menurunnya jumlah penambahan kasus baru.
Bauran kebijakan moneter dan fiskal dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tersebut sangat tepat, namun perlu diperhitungkan risiko peningkatan likuiditas di masyarakat secara signifikan yang dapat berdampak terjadinya hyperinflasi. Selain itu, banjirnya likuiditas di pasar uang dapat mendorong pergerakan suku bunga PUAP Overnight menjadi bias ke bawah (mendekati Deposit Facility rate) sehingga berpotensi menganggu transmisi kebijakan moneter di pasar uang antar bank.
Strategi yang dapat ditempuh untuk mengantisipasi dampak negatif dari besarnya likuditas tersebut, Bank Indonesia berkolaborasi degan Pemerintah perlu mendorong secara massive program pengembangan kapasitas UMKM dan menumbuhkan wirausaha baru (sektor riil dan UMKM) sehingga diharapkan dapat menjadi “bantalan” dalam menyerap excess likuiditas yang besar pada era pandemi Covid-19. Di sisi lain, Bank Indonesia mengembangkan standar pembayaran digital (QRIS) agar UMKM dapat terakses dengan lembaga keuangan. Selain itu, untuk mendorong transaksi retail secara real time Bank Indonesia telah melakukan launching BI-FAST sebagai infrastruktur Sistem Pembayaran ritel nasional yang dapat memfasilitasi pembayaran ritel secara real-time, aman, efisien, dan tersedia setiap saat (24/7).
Penambahan jumlah pencatatan transaksi ekonomi dari UMKM yang telah terhubung dengan sistem keuangan tersebut akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia. Pada kondisi jangka panjang, BI-FAST akan meningkatkan velocity of money sehingga mendorong peningkatan volume transaksi yang pada akhirnya meningkatkan level pendapatan ke arah yang lebih tinggi. Strategi bauran kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran diarahkan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.