Penulis: Rindu Sanubari Mashita Firdaus - Asisten Peneliti, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM - Kamis, 12 Mei 2022 | 04:36 WIB
Pertengahan bulan April tahun 2022 ini sebagian kelompok masyarakat sipil mendapatkan kabar gembira saat disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna setelah 10 tahun perjuangan pengesahan sejak tahun 2012. Akan tetapi, kabar gembira yang sama belum ada tanda-tanda akan datang pada pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang juga telah diperjuangkan oleh jaringan masyarakat sipil selama 1 dekade.
Masyarakat adat pernah memiliki pencapaian besar dalam mempertahankan hutan adatnya yang ditandai dengan terkabulnya permohonan yang diajukan kelompok masyarakat adat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK-35) yang memutuskan hutan adat bukan lagi hutan negara. Beberapa tahun kemudian terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Peraturan ini menekankan aturan teknis pemetaan dan penetapan hutan adat melalui berbagai proses termasuk varifikasi. Permasalahan yang mengikuti adalah ketidakpastian hukum atas keberadaan masyarakat hukum adat. Pemerintah sudah memiliki data sedikitnya 10,56 juta hektar tanah adat termasuk hutan adat yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) bersama berbagai lembaga namun hasil pemetaan itu belum juga dilegalkan.
Peliknya jalan panjang masyarakat adat untuk mendapatkan kepastian perlindungan hukum dibarengi dengan konflik berkepanjangan di akar rumput. AMAN mencatat bahwa pada tahun 2021 terdapat 13 konflik di wilayah adat yang mencakup area seluas 251.000 hektare dan berdampak pada 103.717 jiwa. Sedangkan pada tahun 2020 yang mana ketika masyarakat adat harus berhadapan dengan pandemi Covid-19, mereka juga harus berhadapan dengan konflik agraria. Amnesty mencatat setidaknya terdapat 61 pembela hak masyarakat adat yang menjadi korban pelanggaran HAM, termasuk penangkapan, kekerasan fisik, maupun teror dan intimidasi seperti yang terjadi di Langkat (Sumatera Utara), Pubabu (Nusa Tenggara Timur), dan Kinipan (Kalimantan Tengah) yang terjadi dari bulan Januari hingga September 2020.
Kondisi tersebut sangat ironis terutama ketika Indonesia menyatakan bahwa pencegahan perubahan iklim merupakan salah satu dari tujuh program prioritas nasional. Masyarakat adat yang memiliki pengetahuan pembangunan hijau yang dapat menjaga alam terutama iklim, justru menjadi pihak yang dapat direpresi ketika mempertahankan wilayahnya terutama hutan adat. AMAN sebagai aliansi yang menjadi wadah jejaring masyarakat adat, memiliki dokumentasi kearifan lokal masing-masing adat bagaimana kehidupan mereka sangat bergantung pada lingkungan alam terutama hutan sehingga melestarikan alam menjadi hukum dan nafas hidup adat.
Tidak hanya di Indonesia, masyarakat adat umumnya di negara-negara lain menempatkan kelestarian alam sebagai prioritas adat. World Resource Institute and Right and Resources Initiatives pada tahun 2014 yang dilakukan di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika dan Asia, menunjukan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dapat mengendalikan laju deforestasi dan emisi karbon dengan jauh lebih baik. Selain kontribusinya pada kesehatan alam untuk mencegah perubahan iklim, masyarakat adat juga menyumbah nilai ekonomi. Pada tahun 2018, AMAN mengukur nilai ekonomi di enam wilayah komunitas adat yang dilakukan atas kerjasama dengan para pakar dari kampus-kampus ternama seperti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Padjadjaran. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata nilai ekonomi masing-masing komunitas tersebut lebih tinggi dari total produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten-kabupaten di mana komunitas-komunitas adat tersebut berlokasi.
Sebagai perbandingan, nilai produk SDA dan jasa lingkungan per tahun oleh komunitas adat Seberuang di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, mencapai Rp 36,43 juta/kapita. Sementara perekonomian daerah Kabupaten Sintang hanya Rp 27,89 juta/kapita/tahun. Jika ditotal nilai ekonomi kontribusi komunitas adat Seberuang mencapai Rp 38,49 milyar per tahun, dengan rincian nilai ekonomi dari produk SDA sebesar Rp 27,14 milyar per tahun dan jasa lingkungan sebesar Rp 11,35 milyar per tahun. Masyarakat adat masih memerlukan pengakuan dan perlindungan yang mengikat kuat secara hukum. Pengakuan ini tidak hanya berkaitan dengan sisi kemanusiaan dan keadilan, namun juga untuk menjaga pengetahuan pengelolaan lingkungan dan potensi nilai ekonomi.
Selain masyarakat adat, negara juga memiliki beberapa potensi keuntungan. Pertama, meningkatkan legitimasi politik atas prioritas terhadap nilai kemanusiaan dan keadilan terhadap kelompok marginal. Kedua, legitimasi budaya yang mana Indonesia tidak perlu berhadapan dengan ironisme sebuah negara mengaku merayakan keberagaman budaya namun masyarakat adat sebagai pealaksana budaya-budaya asli Indonesia justru tersingkirkan. Ketiga, Indonesia dapat menghemat biaya penelitian model pembangunan ramah lingkungan untuk mengatasi perubahan iklim sesuai dengan prioritas pembangunan nasional karena praktek baik telah tersimpan di ribuan kelompok masyarakat adat di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah memang prioritas Indonesia adalah pembangunan yang ramah lingkungan sesuai dengan program prioritas nasional? Dan apakah Indonesia memang negara yang menjunjung keadilan seperti yang tercantum dalam Pancasila yang dianggap sebagai dasar negara? Indonesia hanya perlu mengingat dasar pemikiran nasional untuk menentukan posisi politis dalam polemik pengakuan masyarakat adat di indonesia sehingga pengakuan tersebut sudah seharusnya tidak menjadi perjuangan panjang masyarakat yang memakan waktu 1 dekade.
SELENGKAPNYA
Artikel di atas sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab dari redaksi sariagri.id. Baca