Penulis: An Naafi Yuliati Lathifah - Kamis, 11 Februari 2021 | 13:58 WIB
2050 pertumbuhan penduduk dunia diperkirakan akan meningkat hingga 10 milyar penduduk, yang tentunya akan diikuti dengan meningkatknya kebutuhan pokok. Menurut World Economic Forum, permintaan pangan akan naik hingga 60 % dimana ketersediaan sumber daya untuk produksi semakin langka akibat adanya urbanisasi, perubahan iklim, dan penurunan kualitas tanah. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi sektor pertanian dan pangan untuk berevolusi di masa depan menjadi lebih inovatif dalam menciptakan pertanian yang ramah lingkungan sekaligus bisa meningkatkan produktivitas lahan pertanian.
Menurut FAO, tantangan pertama di masa depan adalah sektor pertanian harus semakin efisien dalam menggunakan sumber daya dan juga harus semakin ramah lingkungan. Smart agriculture juga diperlukan untuk mendorong pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim. Inovasi sangat diperlukan untuk mendorong sistem pertanian (produksi pangan) di masa depan tersebut. Pada tahun 2018, total anggaran untuk riset di Indonesia tidak mencapai 0,3 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibanding Singapura dan Malaysia. Di sektor pertanian khususnya, kementan baru mengalokasikan sekitar 5 persen total anggaran tahun 2021 untuk Balitbangtan yang berfokus pada peningkatan produksi benih.
Lalu, bagaimana dengan penerapan teknologi yang sudah dilakukan di Indonesia saat ini?
Teknologi, salah satunya mekanisasi pertanian dipercaya sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian sekaligus meningkatkan produksi pertanian. Hingga tahun 2018, data SUTAS BPS mencatat bahwa jumlah petani yang tidak menggunakan teknologi pada pertaniannya masih lebih tinggi dibandingkan yang sudah menerapkan teknologi, baik itu teknologi mekanisasi maupun non-mekanisasi. Sebanyak 52,72 persen petani Indonesia belum menerapkan teknologi.
Teknologi mekanisasi didefinisikan sebagai mesin dan sarana teknik lainnya yang digunakan untuk menggantikan tugas manusia atau hewan, sedangkan teknologi non-mekanisasi seperti penggunaan benih bersertifikasi, hidroponik, sistem jajar legowo, dsb. Teknologi yang didefisinikan belum mencakup smart technology seperti IoT dan AI yang masuk dalam sistem smart farming. Hal tersebut semakin menguatkan pentingnya riset dan pengembangan di sektor pertanian. Khususnya dalam pemgembangan teknologi pertanian, baik teknologi mekanisasi, smart farming, maupun bioteknologi.
Rantai pasok yang semakin efisien juga diperlukan di masa depan. Banyak permintaan produk yang bernilai jual tinggi seperti buah-buahan dan dairy products berasal dari area perkotaan, sebaliknya suplai biasanya berasal dari area pedesaan. Rantai distribusi yang pendek dari petani ke konsumen akhir, restauran, hotel, maupun supermarket dapat meminimalisir kemungkinan kerusakan produk (losses) akibat rantai distribusi yang panjang, selain juga dapat meningkatkan harga jual di tingkat petani.
Saat ini telah banyak berkembang startup yang diinisiasi oleh anak muda yang bertujuan untuk memotong rantai distribusi produk pertanian di Indonesia. Beberapa seperti TaniHub, SayurBox, PanenID, dan banyak lainnya adalah startup berbasis teknologi yang telah beroperasi untuk mendistribusikan produk pertanian melalui platform e-commerce.
Anak muda memang sering diidentikan dengan generasi yang lebih melek teknologi. Sayangnya, masih sedikit milenial yang turun ke sektor hulu. Data BPS tahun 2018 mencatat sekitar 3 juta petani yang masuk dalam kelompok usia 25-34 tahun atau hanya 11 persen dari total petani Indonesia. Perubahan tren pekerjaan dari sektor pertanian ke industri kemudian ke jasa yang kemudian mendorong masyarakat desa berpindah ke kota. Insentif untuk menarik anak muda terjun ke desa mengembangkan sektor pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan inovasi dan penggunaan teknologi di lahan pertanian.
SELENGKAPNYA
Artikel di atas sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab dari redaksi sariagri.id. Baca